SEJARAH SASTRA
PERIODE 1945-1950
Oleh: Indri
Yuliana,Linda Susanti,Siti Saadah,Sri Julia Erni
1. Latar Belakang
Secara kronologi
pendekatan sastra dilihat dari periodisasi dan angkatannya. Periodisasi adalah
suatu rentang waktu tertentu yang didalamnya terdapat tonggak-tonggak penting
peristiwa kesusastraan. Sedangkan angkatan adalah suatu peristiwa atau tonggak
penting yang terjadi dalam kesusastraan, dalam kurun waktu tertentu.
Periodisasi
dilakukan sebagai upaya pelonggaran terhadap kriteria definisi angkatan yang
terlalu sempit. Periodisasi juga di gunakan untuk mengukur ada tidaknya suatu
kelompok sastrawan yang bertindak sebagai suatu kesatuan yang berpengaruh pada
suatu masa tertentu yang secara umum dalam karya mereka menganut prinsip yang
sama.
Kesusastraan Indonesia
terbagi dalam beberapa periode. Periode 1900-1933 disebut Angkatan Balai
Pustaka, periode 1933-1942 disebut Angkatan Pujangga Baru,periode 1942-1945
disebut Angkatan 45, periode 1995-1950 disebut Angkatan 50,periode 1960-1970 disebut Angkatan 66, dan periode 1970-sekarang
disebut Angkatan 70 dan Angkatan 2000 atau Angkatan Melankolik.
2. Visi dan Konsep Estetik
Angkatan 50
Estetika
berarti ilmu yang membicarakan seluk-beluk. Dalam hal ini , yang dibicarakan
adalah seluk beluk sejarah sastra angkatan 50 atau periode 1945-1950. Angkatan
50 itu sendiri ditandai oleh terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B.Jassin.
angkatan ini didominasi oleh cerita pendek. Pada angkatan ini muncul gerakan
komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat
(lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Muncul perpecahan dan polemik
yang berkepanjangan dikalangan sastrawan.
Nama
angkatan 50 itu sendiri dikemukakan pertama kali oleh Rendra besreta kawan
kawan dari jogja pada akhir 1953. Nama ini diberikan bagi sastrawan yang mulai
menulis pada tahun 50 –an. Ajip rosidi menulis naskah yang berjudul “sumbangan
terbaru sastrawan indonesia
kepada kesusastraan indonesia
3. Para Sastrawan Angkatan
50
Sastrawan yang termasuk Angkatan 50
yaitu:
- Ajip Rosidi
Lahir di
Jatiwangi, Cirebon 31 Januari 1938. Dia menjadi Profesor Tamu pada Osaka Gaidai
di Jepang untuk mengajarkan Indonesiologi dan menerima Bintang Jasa The Order
of the Secred Treasure Gold Ray with Neck Ribbon pada tahun 2000.
Pada usia 13
tahun telah memimpin majalah sekolah dan telah menerbitkan buku pada usia 16
tahun. Ia pernah menjadi redaktur majalah Suluh Pelajar,Prosa,Majalah Sunda,
Budaya Jaya, Direktur Penerbit Cupumanik dan Duta Rakyat. Selain itu juga pernah
menjadi dosen luar biasa FS UNPAD Bandung,Direktur Penerbit Pustaka Jaya, Ketua
IKAPI, Ketua DKJ, hingga meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN.
Sekitar awal tahun 90-an, Ajip Rosidi
mempelopori pemberian Hadiah Sastra Rencage. Penghargaan ini diberikan khusus
kepada sastrawan-sastrawati yang mempunyai prestasi luar biasa dalam bidang
Sastra Daerah yang diadakan setiap tahunnya sejak tahun 90-an sampai sekarang.
Karya-karya
yang ditulisnya antara lain: kumpulan cerpen dan novelet Tahun-tahun Kematian
(1955), Kumpulan-kumpulan Sajak Pesta (1956),
Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah buat Hari Tua (1957), Lutung Kasarung
(1958), Cari Muatan (1959), terjemahannya
bersama Matsuoka Kunio: Penari Jepang (1985) dan Daerah Salju (1987), dan kumpulan cerpen dan novel Yasunari
Kawabata.
- Muchtar Lubis
Lahir di
Padang, 7 Maret 1922 dan meninggal di Jakarta,2
Juli 2004. Muchtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang pernah memimpin surat kabar Indonesia
Raya. Ia juga meraih hadiah Ramon Magsaysay untuk karya jurnalistiknya ketika
meliput Perang Korea.
Yakob Utama dari Kompas menjulukinya sebagai “Wartawan Jihad” karena
kegigihannya memperjuangkan hak azasi manusia.
Selain menulis
karya sastra ia juga menulis buku ilmiah. Diantaranya Manusia Indonesia (1977),
Transformasi Budaya untuk Masa Depan dan
buku tebal Catatan Subversif yang ditulis berdasarkan pengalamannya
ketika ditahan pada masa Orde Lama.
Mochtar Lubis
juga seorang editor dan penerjemah beberapa buku. Diantaranya Pelangi 70 Tahun
S.T.A, Bunga Rampai Korupsi, Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-surat Bung
Hatta kepada Presiden Sukarno, terjemahan Tiga Cerita dari Negeri Dollar
(kumpulan cerpen Jophn Steinbeck,dll,1950), Kisah-kisah dari Eropa (1950), dan Cerita
dari Tiongkok (1953).
Karya-karya lainnya
antara lain kumpulan cerpen Si Jamal (1951), Tak Ada Esok (1951), Catatan
Perang Korea (1951), novel terkenal Tak Ada Ujung (1952), Penyamun dalam Rimba
(1972), Harimau! Harimau! (1975), Maut dan Cinta (1977), Sinbad Sang Pelaut dan
cerpen Kuli Kontrak (1982) serta Bromocorah (1983).
Pada tahun 1993 Mochtar Lubis
menerima hadiah sastra Chairil Anwar.
- Toto Sudarso Bachtiar
Lahir di
Cirebon,12 Oktober 1929. Penyair ini menulis kumpulan Sajak Suara (1959) dan
Etsa (1958). Di dalam kedua buku tersebut kata dapat jumpai Pahlawan Tak
Dikenal,Ibukota Senja, Gadis Peminta-minta, Tentang Kemerdekaan, dan lain-lain.
Toto Sudarto
juga menerjemahkan beberapa novel seperti Hati yang Bahagia (karya Leo
Tolstoy), Pelacur (karya J.P. Sartre,1954), Sulaiman yang Agung (karya Harold
Lamb, 1958), Pertempuran Penghabisan (karya Ernest Hemingway, 1974), novel Bayangan
Memudar (karya Breton de Nijs, 1975), drama Sanyasi (karya Tagore, 1979), Malam
Terakhir (karya Yushio Misima, 1979).
- A.A. Navis
Lahir di
Padang Panjang, Sumatra Barat,17
November 1924 dan meninggal disana pula pada tahun 2002. Pengarang
alumni INS Kayutanam pernah menjadi pemimpin redaksi harian Semangat Padang,
Anggota DPRD Sumatra Barat, Ketua Yayasan INS Kayutanam.
A.A. Navis
terkenal sebagai pengarang kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1956),
Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), novel Kemarau dan Gerhana (1967), buku
nonfiksi Alam Terkembang Jadi Guru (1984). Cerpennya yang berjudul Jodoh
memenangkan sayembara Kincir Emas yang diadakan oleh Radio Nederland.
A.A. Navis
pernah menerima Hadiah Seni Depdikbud
RI tahun 1980, Hadiah Sastra
ASEAN (SEA Award) tahun 1972 dan Satya Lencana Kebudayaan Pemerintah RI
tahun 2000.
- Nugroho Notosusanto
Lahir di
Rembang, 15 Juli 1931 dan meninggal di Jakarta,
3 Juli 1985. Pengarang yang pernah menjabat Mendikbud RI
dan Rektor UI ini menulis kumpulan cerpen Hujan Kepagian (1958), Tiga Kota
(1959) dan Rasa Sayange (1961). Buku-buku nonfiksi yang ditulisnya Sejarah
Kemerdekaan Indonesia,
30 Tahun Indonesia Merdeka dan Wawasan Almamater.
- Motenggo Busye
Lahir di
Kupangkota, Lampung, 21
November 1937 dan meninggal di Jakarta, 18 Juli 1999. Pengarang
yang juga pelukis dan dramawan ini tetap aktif menulis hingga akhir hayatnya.
Ia juga seorang penyair. Buku kumpulan puisinya berjudul Aurora Para Aulia.
Karya-karyanya
yang berbentuk drama antara lain Malam Jahanam (1958), Badai Sampai Sore,
Keberanian Manusia, Perempuan Itu bernama Barabah (1962), Nyonya dan Nyonya,
Penganten Di Bukit Kera, Matahari dalam Kelam, Sejuta Matahari, Nasehat untuk
Anakku, Dosa Kita Semua,legenda Buang Tonjam, Ahim Ha, Batu Serompak (1963), Titian
Dosa di Atasnya (1964), novel Trilogi Tante Maryati (1967), Sri Ayati, Retno
Lestari dan novel Dia Musuh Keluarga (1968).
Karya-karyanya
yang terbit tahun 80-an: Rindu Ibu adalah Rinduku, Perempuan-Perempuan Impian,
Debu-debu Kalbu, Cintaku Selalu Padamu, Akulah Pemberontak Itu, Ibu!, Dalam
Kelembutan dan pada tahun 1985 menulis novel sufistik Sanu Infinita Kembar.
Motenggo Busye
juga menyutradarai film layer lebar Cintaku Jauh di Pulau, Sejuta Duka Ibu,
Putri Seorang Jendral dan Di Balik Pintu Dosa. Pada tahun 1999 ia menulis
kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala, Hari ini Tidak Ada Cinta dan Cross Mama.
- Iwan Simatupang
Lahir di
Sibolga, Sumatra Utara, 18 Juni 1928 dan meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970. Ia terkenal dengan
karya-karyanya yang tidak masuk akal, penuh pemikiran inkonvensional, menyimpang
dari jalur logika biasa, tampil berabsurd-absurd lebih awal daripada Sutarji
Calzoum Bahri, Putu Wijaya, Budi Darma, Danarto, Yudhistira Ardi Noegraha dan
Ikranegara.
Karya-karya
Iwan Simatupang antar lain: drama Bulan Bujur Sangkar dan RT 0 RW 0 (1960),
Petang Di Taman (1966), Merahnya Merah (1968), novel Ziarah (1969) yang
memperoleh penghargaan SEA Award, Kering (1972), Kooong (1975), kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit (1982) dan
cerpen Lebih Hitam dari Hitam.
- N.H. Dini
Lahir di
Semarang, 29 September 1936
dan masih aktif hingga kini. Novelnya yang berjudul Pertemuan Dua Hati yang
mengisahkan tentang perjuangan Bu Suci, seorang guru SD dalam membimbing
Waskito adalah muridnya yang berkepribadian sulit, novel ini juga telah
disinetronkan.
N.H. Dini
mempunyai pengalaman bersuamikan seorang diplomat asal Prancis dan bertahun-tahun
tinggal di negeri itu. Latar belakang itu pula yang mendorongnya menerjemahkan
karya pengarang eksistensialis Albert Camus berjudul Sampar (dari La Pest,
1985).
Karya-karya N.H. Dini diantaranya adalah
kumpulan cerpen Dua Dunia (1956), roman Hati yang Damai (1961), Di Pondok Salju cerpen yang menjadi runner up majalah
sastra (1963), roman Pada Sebuah Kapal
(1973), La Barka (1975), novel Namaku Hiroko (1977), Tanah Baru Tanah Air Kedua
(1997), Kemayoran dan Jepun Negrinya Hiroko (2000).
- Rendra
Lahir di Solo,
7 November 1935.
Penyair dan dramawan ini dulu lebih dikenal dengan nama W.S. Rendra
(Willibordus Surendra). Setelah beragama Islam, penyair burung merak ini
menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Rendra yang kini meroket lagi, dikenal sebagai
pembaca sanjak termahal di dunia (3 juta di TIM, Bandung, Semarang, 12 juta di Senayan, decade 90-an).
Rendra
menginginkan Bengkel Teater dan menulis buku Tentang Bermain Drama (1976).
Sebagai budayawan, ia menulis sebuah buku Mempertimbangkan Tradisi (1983) dan
Memberi Makna pada yang Fana. Rendra juga pernah bermain dalam film Al Kautsar,
Yang Muda yang Bercinta dan Cintaku Jauh di Pulau.
Pada decade
90-an, Rendra menerbitkan antologi puisi Orang-orang Rangkasbitung (1993) dan
Disebabkan oleh Angin (1993). Sepulang dari Amerika ia juga menulis sebuah
karya yaitu Blues untuk Bonnie (1975) dan Potret Pembangunan dalam Puisi
(1980).
4. Simpulan
Angkatan 50
pertama kali di pelopori oleh Rendra dan kawan-kawannya. Angkatan 50 lebih
banyak memasukkan akar budaya daerah dalam setiap karya sastranya, selain itu
juga sikap budaya sastrawan angkatan 50 yang cenderung bersifat netral atau
mencari jalan tengah. Hal ini terbukti dari pandangan mereka yang tidak terlalu
mempersoalkan tentang kebudayaan Indonesia baik yang terkena pengaruh dari daerah maupun pengaruh
dari luar. Sastra angkatan 50 banyak didominasi oleh kumpulan cerpen dan puisi.
sangat bagus
BalasHapusrobiansyah_ansyah@yahoo.co.id