Label

FEATURE (1)

Minggu, 24 Juni 2012

BILINGUALISME


INDRI YULIANA
1005113104
BILINGUALISME 
A.    PENGERTIAN
Bilingualime menurut pendapat Nababan dalam Auzar (2007:26) seperti kutipan berikut.
Kalau kita melihat seseorang memakai dua bahasa dan pergaulannya dengan orang lain. Dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang akan kita sebut bilingualism. Jadi bilingualisme ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain.
Dapat kita tekankan dari pendapat Nababan di atas menekankan pengertian bilingualisme terletakpada keadaan atau kondisi yanki kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam pergaulannya.
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan (Chaer, 2004:84). Dari istilah yang dikemukakan oleh Chaer di atas, dapat dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari.

Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (Aslinda dkk., 2007:23), ia menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The practice of alternately using two language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut.

Hal di atas tidak sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut Bloomfield (Aslinda dkk., 2007:23) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native like control of two languages. Menurut Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut tidak disetujui atau masih banyak dipertanyakan karena syarat dari native like control of two languages berarti setiap bahasa dapat digunakakn dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan penuturnya. 

B.     BATASAN 
Sosiolinguistik memang harus berbicara tentang pentingnya bahasa terhadap sekelompok orang. Jika setiap orang dalam kelompok tersebit berbahasa sama, tentu tidak menjadi masalah dalam sosiolinguistik. Namun kenyataannya kelompok masyarakat tersebut menggunakan bahasa yang beraneka ragam. Sebuah negara terkadang mengenal satu atau dua bahasa, tetapi banyak negara-negara yang secara sosiolinguistik tertpilah-pilah sehingga tidak mustahil setiap anak menjadi dwibahasa atau monolingual.

Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannnya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang biasa dibahas apabila membicarakan bilingualisme.

Jika melihat batasan bilingualisme yang dipaparkan oleh Bloomfield (Aslinda, 2007:23), seseorang dapat disebut sebagai bilingual apabila mampu menggunakan B1 (bahasa pertama atau bahasa ibu) dan B2 (bahasa kedua) dengan sama baiknya. Namun, permasalahannya bagaimana cara mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap penguasaan kedua bahasa yang digunakannya? Selanjutnya, yang menjadi permasalahan adalah mungkinkah seseorang dapat menggunakan B2-nya dengan kualitas yang sama baik dengan B1-nya. Apabila ditemui penutur yang mampu menguasai B2-nya sama baik dengan B1-nya, maka penutur tersebut tentunya mempunyai kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa tersebut.

Pada pembahasan ini, selanjutnya kita akan membahas pendapat yang dikemukakan oleh Mackey yang menyebutkan bahwa dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuan atau campur kode, interferensi, dan integrasi.

Pertama, masalah tingkat kaitannya adalah dengan sejauh mana sesorang mampu menjadi seorang dwibahasawan atau sejauh mana seseorang mampu mengetahui bahasa yang dipakainya. Masalah tingkat dalam pembahasan bilinguaisme menurut Alwasilah (1990:125) berkaitan dengan tingkat kemampuan berbahasa seseorang. Kemampuan berbahasa seseorang akan nampak dari empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Menurutnya, dalam keempat keterampilan tersebut akan mencakup fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan stailistik. Jika diambil kesimpulan, masalah tingkat ini adalah masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap bahasa yang dipakainya.

Kedua, fungsi kaitannya dengan pengertian untuk apa seseorang menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan pelakunya. Hal ini berkaitan dengan kapan seseorang yang bilingual menggunakan kedua bahasanya secara bergantian. Masalah fungsi ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa (Chaer, 2004:88). Penggunaan bahasa pertama oleh seorang penutur, misalnya bahasa pertamanya bahasa Sunda, hanya akan digunakan dengan semua anggota masyarakat tutur yang menggunakan bahasa Sunda pula. Penggunaan bahasa pertama tersebut juga akan terbatas hanya pada situasi-situasi tertentu, misalnya ketika dalam percakapan sehari-hari dalam ruang lingkup keluarga dan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat biasa. Namun, dalam situasi-situasi tertentu pula bahasa pertama tidak dapat digunakan. Misalnya dalam kegiatan pendidikan di sekolah, walaupun guru dan murid menggunakan B1 yang sama (misalnya Bahasa Jawa), akan tetapi dalam hal ini hanya bahasa Indonesialah yang dapat digunakan, sebab bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua guru dan murid tersebut merupakan bahasa nasional yang berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan.

Ketiga, pertukaran atau alih kode adalah sampai seberapa luaskah seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana seseorang dapat berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain. Keempat, campur kode terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa. Pertukaran atau alih kode biasanya selalu berkaitan dengan percampuran atau campur kode. Campur kode biasanya terjadi dalam situasi-situasi yang santai atau nonformal. Dalam situasi berbahasa yang formal jarang terjadi campur kode, kalaupun terjadi campur kode itu hanya sebagai akibat tidak adanya padanan yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakan.

Kelima, interferensi adalah bagaimana seseorang yang menganut bilingualisme menjaga bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa jauh seeorang itu mampu mencampuradukkan serta bagaimana pengaruh bahasa yang satu dalam penggunaan bahasa lainnya. Interferensi berarti adanya saling mempengaruhi antarbahasa. Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya – baik dalam ucapan maupun tulisan – terutama kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua (Alwasilah, 1990:131). Ciri yang menonjol dalam interferensi adalah peminjaman kosakata dari bahasa lain, alasannya adalah perlunya kosakata untuk mengacu pada obyek, konsep, atau tempat baru. Maka, meminjam kosakata dari bahasa lain akan lebih mudah daripada menciptakan kosakata baru. Hanya saja, kosakata-kosakata hasil pinjaman yang biasa dipakai dalam bahasa Indonesia telah disesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia.

Keenam, integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya shingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa asing. Pengintegrasian unsur serapan ke dalam suatu bahasa tidak sama pada setiap wilayah. Adakalanya integrasi hanya terjadi pada suatu dialek, bahkan adakalanya integrasi itu terjadi pada sebuah desa asalkan unsur tersebut menunjukkan ciri-ciri integrasi. Istilah integrasi ini sama halnya dengan istilah konvergensi menurut Alwasilah (1990:134). Ia mengutip pengertian konvergensi dari Webster’s New Collegiate Dictionary sebagai ‘kegiatan bertemu dan terutama bergerak menuju kesatuan dan keseragaman’. Konvergensi ini sebagai tindak lanjut dari interferensi. Apabila kosakata hasil pinjaman tersebut sudah disetujui, ini berarti kata-kata itu telah dikonversi ke dalam bahasa baru, yaitu telah bertemu dan masuk ke dalam bahasa baru.
Menurut Firsman dalam Sumarsono(2002:165) dwibahasa bisa dilatarbelakangi oleh nasionalitas dan kelompok etnik tertentu. Yang dipelajari dalam bilingualisme adalah penyebab suatu negara menggnakan dwibahasa dan jenis-jenis dwibahasa tersebut.

C.    JENIS-JENIS
Bilingualisme berkembang setidak-tidaknya ada tiga faktornya: 
1.      Setting pemerolehannya.
Dilihat dari setting pemerolehannya, bilingualisme dapat diklasifikasikan menjadi dua. Bilingualisme primer dan sekunder. Bilingualisme primer mengarah kepada bahasa asing atau bahasa kedua dari sekelompok masyarakat tidak digunakan dilingkungan tertentu saja, tetapi digunakan juga dalam kesempatan umum seperti disekolah dan tempat lainnya. Sedangkan bilingualisme sekunder hanya digunakan saat situasi tertentu saja, seperti di sekolah saja. 

2.      Tingkat penguasaannya.
Dalam tingkat ini bilingualisme dikategorikan menjadi tiga. 
a.       Bilingualisme sejajar
Merupakan kemampuan seseorang memahami, mengerti dan mengggunakan dua bahasa atau lebih tanpa kesulitan dan tidak terpengaruh oleh bahasa lainnya. 
b.      Bilingualisme majemuk
Merupakan kemampuan menggunakan bahasa yang satu lebih baik dari bahasa yang lainnya. Biasanya orang yang kemampuan bilingualismenya majemuk akan mengalami kesulitan seperti menggunakan bahasa asing dengan pilihan kata atau kalimatnya dipengaruhi oleh bahasa ibunya. 
c.       Bilingualisme kompleks
Bilingualisme kompleks terjadi kepada anak-anak yang baru belajar bahasa. Mereka menggunakan banyak bahasa tetapi penguasaannya terhadap bahasa tersebut kurang baik. 

3.      Status bahasa yang dikuasainya.
Bilingualisme dibedakan menjadi tiga: 
a.       Bilingualisme horizontal
Jika dua atau lebih bahasa bilingual yang dipakai berstatus tinggi. Misalnya berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 
b.      Bilingualisme vertical
Jika bilingual bahasa yang digunakan berstatus tinggi dan rendah. Seperti bahasa Indonesia dengan bahasa melayu. 
c.       Bilingualisme diagonal
Jika bilingual bahasa yang digunakan sama-sama berstatus rendah. Seperti bahasa melayu dan bahasa minang. 

D.    PENYEBAB
Penyebab masyarakat aneka bahasa dapat dilihat dari sejarahnya.
1.      Migrasi
Migrasi atau perpindahan penduduk menimbulakan masalah kebahasaan. Kelompok pendatang memiliki bahasa sendiri, dan masyarakat aslipun memiliki bahasa sendiri. Dalam keadaan pemakaiannya biasanya kelompok pendatang yang lebih banyak dari penduduk asli akan menasionalisasikan bahasa penduduk asli dengan bahasa yang mereka bawa. Serta ada juga keadaannya penduduk pendatang yang datang kewilayah yang dipengaruhi nasionalitas bahasa yang lain.
2.      Penjajahan
Negara-negara yang menjajah negara lain biasanya meningggalkan jejak kekuasaannya seperti bahasa. Contohnya saja penjajahn belanda terhadap Indonesia. Dan negara-negara lainnya.
3.      Federasi
Penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas di bawah control politik satu negara. Ini bisa karena sukarala. Contohnya saja swiss, disana ada empat Negara yang bergabung yaitu jerman,prancis,italia dan roma
4.      Wilayah tapal batas
Wilayah perbatasan pasti memiliki aneka bahasa, masyarakat negara A bisa saja berbahasa negara B dan sebaliknya. Keadaan mereka yang diperbatasan tak dapat dielakkan lagi akan terpengaruhi oleh bahasa lain.
5.      Perkawinan campuran
Contohnya seorang laki-laki Belanda menikahi perempuan Indonesia. Dalam keadaan tersebut salah seorang pasagan harus menguasai dua bahasa sekaligus. Selain itu anak-anak mereka biasanya akan menguasai kedua bahasa tersebut.
6.      Industrialisasi
Majunya industialisasi dalam suatu negara merupakan penyebab terjadinya bilingualisme. Contohnya industi Jepang, orang-orang dari negara lain yang bekerja disana akan menguasai bahasa Jepang tersebut. Kemungkinan mereka akan menggunakan beraneka bahasa akan sangat besar.
7.      Kebudayaan
Jika seseorang ingin mengetahui kebudayaan negara lain, maka orang tersebut harus menetap dan mempelajari kebudayaan tersebut sehingga otomatis akan mempelajari juga bahasa negara tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Sumarsono. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Auzar. 2007. Sosiolinguistik. Pekanbaru: Cendekia Insani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar