Label

FEATURE (1)

Minggu, 24 Juni 2012

SEJARAH SASTRA PERIODE 1945-1950


SEJARAH SASTRA
PERIODE 1945-1950

Oleh: Indri Yuliana,Linda Susanti,Siti Saadah,Sri Julia Erni

1. Latar Belakang

Secara kronologi pendekatan sastra dilihat dari periodisasi dan angkatannya. Periodisasi adalah suatu rentang waktu tertentu yang didalamnya terdapat tonggak-tonggak penting peristiwa kesusastraan. Sedangkan angkatan adalah suatu peristiwa atau tonggak penting yang terjadi dalam kesusastraan, dalam kurun waktu tertentu.

Periodisasi dilakukan sebagai upaya pelonggaran terhadap kriteria definisi angkatan yang terlalu sempit. Periodisasi juga di gunakan untuk mengukur ada tidaknya suatu kelompok sastrawan yang bertindak sebagai suatu kesatuan yang berpengaruh pada suatu masa tertentu yang secara umum dalam karya mereka menganut prinsip yang sama.

Kesusastraan Indonesia terbagi dalam beberapa periode. Periode 1900-1933 disebut Angkatan Balai Pustaka, periode 1933-1942 disebut Angkatan Pujangga Baru,periode 1942-1945 disebut Angkatan 45, periode 1995-1950 disebut Angkatan 50,periode 1960-1970 disebut Angkatan 66, dan periode 1970-sekarang disebut Angkatan 70 dan Angkatan 2000 atau Angkatan Melankolik.

2. Visi dan Konsep Estetik Angkatan 50

            Estetika berarti ilmu yang membicarakan seluk-beluk. Dalam hal ini , yang dibicarakan adalah seluk beluk sejarah sastra angkatan 50 atau periode 1945-1950. Angkatan 50 itu sendiri ditandai oleh terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B.Jassin. angkatan ini didominasi oleh cerita pendek. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat (lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Muncul perpecahan dan polemik yang berkepanjangan dikalangan sastrawan.

            Nama angkatan 50 itu sendiri dikemukakan pertama kali oleh Rendra besreta kawan kawan dari jogja pada akhir 1953. Nama ini diberikan bagi sastrawan yang mulai menulis pada tahun 50 –an. Ajip rosidi menulis naskah yang berjudul “sumbangan terbaru sastrawan indonesia kepada kesusastraan indonesia

3. Para Sastrawan Angkatan 50
Sastrawan yang termasuk Angkatan 50 yaitu:

  1. Ajip Rosidi
Lahir di Jatiwangi, Cirebon 31 Januari 1938. Dia menjadi Profesor Tamu pada Osaka Gaidai di Jepang untuk mengajarkan Indonesiologi dan menerima Bintang Jasa The Order of the Secred Treasure Gold Ray with Neck Ribbon pada tahun 2000.

Pada usia 13 tahun telah memimpin majalah sekolah dan telah menerbitkan buku pada usia 16 tahun. Ia pernah menjadi redaktur majalah Suluh Pelajar,Prosa,Majalah Sunda, Budaya Jaya, Direktur Penerbit Cupumanik dan Duta Rakyat. Selain itu juga pernah menjadi dosen luar biasa FS UNPAD Bandung,Direktur Penerbit Pustaka Jaya, Ketua IKAPI, Ketua DKJ, hingga meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN.
Sekitar awal tahun 90-an, Ajip Rosidi mempelopori pemberian Hadiah Sastra Rencage. Penghargaan ini diberikan khusus kepada sastrawan-sastrawati yang mempunyai prestasi luar biasa dalam bidang Sastra Daerah yang diadakan setiap tahunnya sejak tahun 90-an sampai sekarang.

Karya-karya yang ditulisnya antara lain: kumpulan cerpen dan novelet Tahun-tahun Kematian (1955), Kumpulan-kumpulan Sajak Pesta (1956), Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah buat Hari Tua (1957), Lutung Kasarung (1958), Cari Muatan (1959), terjemahannya bersama Matsuoka Kunio: Penari Jepang (1985) dan Daerah Salju (1987), dan kumpulan cerpen dan novel Yasunari Kawabata.     

  1. Muchtar Lubis

Lahir di Padang, 7 Maret 1922 dan meninggal di Jakarta,2 Juli 2004. Muchtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang pernah memimpin surat kabar Indonesia Raya. Ia juga meraih hadiah Ramon Magsaysay untuk karya jurnalistiknya ketika meliput Perang Korea. Yakob Utama dari Kompas menjulukinya sebagai “Wartawan Jihad” karena kegigihannya memperjuangkan hak azasi manusia.

Selain menulis karya sastra ia juga menulis buku ilmiah. Diantaranya Manusia Indonesia (1977), Transformasi Budaya untuk Masa Depan dan buku tebal Catatan Subversif  yang ditulis berdasarkan pengalamannya ketika ditahan pada masa Orde Lama.

Mochtar Lubis juga seorang editor dan penerjemah beberapa buku. Diantaranya Pelangi 70 Tahun S.T.A, Bunga Rampai Korupsi, Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-surat Bung Hatta kepada Presiden Sukarno, terjemahan Tiga Cerita dari Negeri Dollar (kumpulan cerpen Jophn Steinbeck,dll,1950), Kisah-kisah dari Eropa (1950), dan Cerita dari Tiongkok (1953).

Karya-karya lainnya antara lain kumpulan cerpen Si Jamal (1951), Tak Ada Esok (1951), Catatan Perang Korea (1951), novel terkenal Tak Ada Ujung (1952), Penyamun dalam Rimba (1972), Harimau! Harimau! (1975), Maut dan Cinta (1977), Sinbad Sang Pelaut dan cerpen Kuli Kontrak (1982) serta Bromocorah (1983). 
Pada tahun 1993 Mochtar Lubis menerima hadiah sastra Chairil Anwar.


  1. Toto Sudarso Bachtiar

Lahir di Cirebon,12 Oktober 1929. Penyair ini menulis kumpulan Sajak Suara (1959) dan Etsa (1958). Di dalam kedua buku tersebut kata dapat jumpai Pahlawan Tak Dikenal,Ibukota Senja, Gadis Peminta-minta, Tentang Kemerdekaan, dan lain-lain.

Toto Sudarto juga menerjemahkan beberapa novel seperti Hati yang Bahagia (karya Leo Tolstoy), Pelacur (karya J.P. Sartre,1954), Sulaiman yang Agung (karya Harold Lamb, 1958), Pertempuran Penghabisan (karya Ernest Hemingway, 1974), novel Bayangan Memudar (karya Breton de Nijs, 1975), drama Sanyasi (karya Tagore, 1979), Malam Terakhir (karya Yushio Misima, 1979).


  1. A.A. Navis

Lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat,17 November 1924 dan meninggal disana pula pada tahun 2002. Pengarang alumni INS Kayutanam pernah menjadi pemimpin redaksi harian Semangat Padang, Anggota DPRD Sumatra Barat, Ketua Yayasan INS Kayutanam.

A.A. Navis terkenal sebagai pengarang kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1956), Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), novel Kemarau dan Gerhana (1967), buku nonfiksi Alam Terkembang Jadi Guru (1984). Cerpennya yang berjudul Jodoh memenangkan sayembara Kincir Emas yang diadakan oleh Radio Nederland.

A.A. Navis pernah menerima Hadiah Seni Depdikbud RI tahun 1980, Hadiah Sastra ASEAN (SEA Award) tahun 1972 dan Satya Lencana Kebudayaan Pemerintah RI tahun 2000.

  1. Nugroho Notosusanto

Lahir di Rembang, 15 Juli 1931 dan meninggal di Jakarta, 3 Juli 1985. Pengarang yang pernah menjabat Mendikbud RI dan Rektor UI ini menulis kumpulan cerpen Hujan Kepagian (1958), Tiga Kota (1959) dan Rasa Sayange (1961). Buku-buku nonfiksi yang ditulisnya Sejarah Kemerdekaan Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka dan Wawasan Almamater.


  1. Motenggo Busye

Lahir di Kupangkota, Lampung, 21 November 1937 dan meninggal di Jakarta, 18 Juli 1999. Pengarang yang juga pelukis dan dramawan ini tetap aktif menulis hingga akhir hayatnya. Ia juga seorang penyair. Buku kumpulan puisinya berjudul Aurora Para Aulia.

Karya-karyanya yang berbentuk drama antara lain Malam Jahanam (1958), Badai Sampai Sore, Keberanian Manusia, Perempuan Itu bernama Barabah (1962), Nyonya dan Nyonya, Penganten Di Bukit Kera, Matahari dalam Kelam, Sejuta Matahari, Nasehat untuk Anakku, Dosa Kita Semua,legenda Buang Tonjam, Ahim Ha, Batu Serompak (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), novel Trilogi Tante Maryati (1967), Sri Ayati, Retno Lestari dan novel Dia Musuh Keluarga (1968).

Karya-karyanya yang terbit tahun 80-an: Rindu Ibu adalah Rinduku, Perempuan-Perempuan Impian, Debu-debu Kalbu, Cintaku Selalu Padamu, Akulah Pemberontak Itu, Ibu!, Dalam Kelembutan dan pada tahun 1985 menulis novel sufistik Sanu Infinita Kembar.

Motenggo Busye juga menyutradarai film layer lebar Cintaku Jauh di Pulau, Sejuta Duka Ibu, Putri Seorang Jendral dan Di Balik Pintu Dosa. Pada tahun 1999 ia menulis kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala, Hari ini Tidak Ada Cinta dan Cross Mama.

  1. Iwan Simatupang

Lahir di Sibolga, Sumatra Utara, 18 Juni 1928 dan meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970. Ia terkenal dengan karya-karyanya yang tidak masuk akal, penuh pemikiran inkonvensional, menyimpang dari jalur logika biasa, tampil berabsurd-absurd lebih awal daripada Sutarji Calzoum Bahri, Putu Wijaya, Budi Darma, Danarto, Yudhistira Ardi Noegraha dan Ikranegara.

Karya-karya Iwan Simatupang antar lain: drama Bulan Bujur Sangkar dan RT 0 RW 0 (1960), Petang Di Taman (1966), Merahnya Merah (1968), novel Ziarah (1969) yang memperoleh penghargaan SEA Award, Kering (1972), Kooong (1975), kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit (1982) dan cerpen Lebih Hitam dari Hitam.

  1. N.H. Dini

Lahir di Semarang, 29 September 1936 dan masih aktif hingga kini. Novelnya yang berjudul Pertemuan Dua Hati yang mengisahkan tentang perjuangan Bu Suci, seorang guru SD dalam membimbing Waskito adalah muridnya yang berkepribadian sulit, novel ini juga telah disinetronkan.

N.H. Dini mempunyai pengalaman bersuamikan seorang diplomat asal Prancis dan bertahun-tahun tinggal di negeri itu. Latar belakang itu pula yang mendorongnya menerjemahkan karya pengarang eksistensialis Albert Camus berjudul Sampar (dari La Pest, 1985).

 Karya-karya N.H. Dini diantaranya adalah kumpulan cerpen Dua Dunia (1956), roman Hati yang Damai (1961), Di Pondok Salju cerpen yang menjadi runner up majalah sastra (1963),  roman Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), novel Namaku Hiroko (1977), Tanah Baru Tanah Air Kedua (1997), Kemayoran dan Jepun Negrinya Hiroko (2000).

  1. Rendra

Lahir di Solo, 7 November 1935. Penyair dan dramawan ini dulu lebih dikenal dengan nama W.S. Rendra (Willibordus Surendra). Setelah beragama Islam, penyair burung merak ini menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Rendra yang kini meroket lagi, dikenal sebagai pembaca sanjak termahal di dunia (3 juta di TIM, Bandung, Semarang, 12 juta di Senayan, decade 90-an).

Rendra menginginkan Bengkel Teater dan menulis buku Tentang Bermain Drama (1976). Sebagai budayawan, ia menulis sebuah buku Mempertimbangkan Tradisi (1983) dan Memberi Makna pada yang Fana. Rendra juga pernah bermain dalam film Al Kautsar, Yang Muda yang Bercinta dan Cintaku Jauh di Pulau.

Pada decade 90-an, Rendra menerbitkan antologi puisi Orang-orang Rangkasbitung (1993) dan Disebabkan oleh Angin (1993). Sepulang dari Amerika ia juga menulis sebuah karya yaitu Blues untuk Bonnie (1975) dan Potret Pembangunan dalam Puisi (1980).

4. Simpulan

Angkatan 50 pertama kali di pelopori oleh Rendra dan kawan-kawannya. Angkatan 50 lebih banyak memasukkan akar budaya daerah dalam setiap karya sastranya, selain itu juga sikap budaya sastrawan angkatan 50 yang cenderung bersifat netral atau mencari jalan tengah. Hal ini terbukti dari pandangan mereka yang tidak terlalu mempersoalkan tentang kebudayaan Indonesia baik yang  terkena pengaruh dari daerah maupun pengaruh dari luar. Sastra angkatan 50 banyak didominasi oleh kumpulan cerpen dan puisi.

1 komentar: